Kalapena.id – Genre horor religi tampaknya menjadi genre tersulit bagi sineas tanah air untuk dieksekusi dengan manis. Selain mengandung potensi kontroversi cukup besar, minimnya pemahaman akan nilai-nilai agama tampaknya membuat genre ini diciptakan hanya untuk menakut-nakuti semata, tanpa ada makna yang bisa diserap dibaliknya.
Hal tersebut dapat dilihat dalam film rilisan terakhir berjudul Munkar (2024). Sebenarnya ada semacam harapan bahwa penulis akan menemukan tontonan berkualitas, dari sekian banyak horor religi murahan yang beredar di pasaran.
Film ini disutradarai oleh Anggy Umbara, yang sudah lawa wara-wiri di dunia perfilman. Pemeran utamanya yakni Safira Ratu Sofya sebagai Herlina, Adhisty Zara sebagai Ranum, Saskia Chadwick sebagai Ob, Aruma Khadijah sebagai Dilla, dan Kaneishia Yusuf sebagai Siti.
Munkar mengangkat tema kehidupan di Pesantren Ar-Rahimu. Salah satu siswa bernama Herlina yang selalu dimanja orang tuanya ternyata tidak disukai teman-temannya. Hanya satu orang yang peduli padanya yakni Ranum.
Tragedi dimulai ketika Herlina dibully oleh Siti, Dilla dan Obi hingga mengalami kecelakaan fatal. Semenjak itu, kehidupan ketiganya termasuk Ranum diganggu oleh sesosok makhluk yang menyerupai Herlina.
Secara plot cerita, tergolong datar. Formulanya sudah diumum dipakai di hampir 90 persen film bergenre horor buatan tanah air. Lantas meski klise, apakah film ini menawarkan sesuatu yang fresh untuk disajikan.
Jawabannya sama sekali tidak. Kesan religinya juga tidak tampak sama sekali, seolah-olah menjadikan pesantren hanya sebagai panggung kejar-kejaran antara si hantu dan para tokoh-tokohnya. Sedangkan tokoh-tokoh lain sepergi guru dan para santri, hanya seperti pelengkap penderita.
Tema munkar atau dalam dalam ejaan sebenarnya mungkar mungkin bisa dilihat ketika Herlina mengalami pembulian dari teman-temannya. Tapi hanya sebatas itu, karena sepanjang durasi film ini hanya berkisah tentang balas dendam, arena jump scare, make up seram, mati lampu PLN, hantu yang berlari cepat seperti pelari Olimpiade, dialog dan penciptaan situasi yang tidak natural, serta kualitas akting yang tidak mencerminkan situasi yang tengah dihadapi.
Baca juga :
- Review Golden Kamuy (2024), Live Adaption Seru Perburuan Harta Karun
- Review Madame Web (2024), Formula Superhero Basi Villain Underrated
- Along With The Gods:The Last 49 Days, Sekuel yang Ungkap Kisah Sedih Dewa Kematian
Dan satu hal yang mengecewakan, yakni menjadikan gerakan sholat sebagai gerakan terakhir seseorang sebelum mati, hal tersebut sangat sulit diterima. Penulis tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata saking kecewanya, mungkin pembaca punya diksi-diksi yang lebih pas di benak masing-masing.
Di bagian akhir, film ini coba menampilkan semacam plot twist yang nyatanya tidak koheren dengan keseluruhan cerita, dan lebih anehnya lagi tidak ada petunjuk yang di sepanjang film yang mengarah kesana. Misteri yang ditunggu-tunggu pada akhirnya, hanya mengubah rasa penasaran menjadi rasa keheranan.
Sejatinya masih banyak genre horor yang bisa dieksplorasi, seperti genre psikologis, genre thriller, genre slasher dan masih banyak yang lain. Penulis sejatinya belum bisa memahaminya dimana letak keseruan menjadikan suasana islami sebagai panggung adegan horor. Tampaknya hanya untuk meraup cuan semata. Ah sudahlah!!! (kalapena).