Kalapena.id – Dulu penulis agak menganggap remeh dengan kualitas perfilman Korea karena kultur budaya yang terlalu Idol Centered. Tapi setelah menyelami satu per satu, ternyata kualitasnya dari segi story ternyata setara dengan film Holywood.
Salah satu film yang masuk dalam kategori ini yakni The Wailing (2016). Film bergenre horor ini akan membuatmu lupa betapa banyaknya film horor berkualitas burik buatan tanah air.
Bukan berarti penulis tidak suka produk dalam negeri, tapi memang saat ini sulit menemukan film horor berkualitas karya sineas lokal. Jumlahnya memang banyak, tapi idenya sangat mainstream dengan alur mudah ditebak, sehingga sangat menjemukan menontonnya.
The Wailing merupakan karya dari sutradara Na Hong Jin, yang didistribusikan oleh 20th Century Fox. Dengan budget US$ 8 juta, film ini box office-nya mencapai US$ 51,3 juta.

Film berdurasi 156 menit ini bercerita mengenai kehidupan seorang polisi bernama Jong-goo (Kwak Do-Won) di desa Gokseong, Korea Selatan.
Ia tinggai bersama anaknya yang bernama Hyo-jin (Kim Hwan-hee), istri dan juga mertuanya. Suatu hari seorang pendatang baru dari Jepang pindah ke Gokseong. Sejak kedatangannya, banyak hal aneh dan menakutkan terjadi.
Desa yang damai berubah menjadi mencekam, karena banyak terjadi kasus pembunuhan sekeluarga, yang pembunuhnya bisa ayah atau ibu dalam keluarga tersebut.
Sampailah suatu saat Hyo-jin mengalami kerasukan, dan hal inilah yang menjadi titik terpenting dalam film ini. Jong-goo dengan segala daya dan upaya berusaha untuk mengembalikan anak dan desanya seperti semula.
Baca juga :
- Season II Squid Game: Menggali Sifat Tamak Manusia Hingga Akarnya
- Review Officer Black Belt (2024), Angkat Kisah Polisi Ahli Bela Diri di Korea
- Review Trap (2024), Melihat Upaya Pembunuh Berantai Lolos dari Kepungan Polisi
The Wailing bukanlah film yang mengandalkan wajah-wajah seram, musik menakutkan atau jumpscare murahan ala film horor tanah air.
Tensi dalam film ini dibangun perlahan-lahan, dimulai dari pengenalan Jong-goo dan kehidupan desa yang tenteram, terus berujung pada antiklimaks yang mencekam.
Film ini tidak menawarkan rasa takut melalui berbagai adegan scream, pelan tapi pasti The Wailing membangun atmosfer menakutkan didukung dengan music scoring yang pas, sehingga memberikan kesan tidak nyaman dan mengganggu bagi penonton.
Rasa putus asa Jong-goo dan keluarganya ketika terus mendapat teror diperlihatkan dengan baik, sehingga menambah kesan iba melihat keluarga malang ini. Konflik pun semakin mendalam dengan kehadiran dua cenayang yang saling tuduh, yang membuat Jong-goo semakin kalap.

The Wailing juga menampilkan ritual tradisional Korea dalam mengusir roh jahat. Kalau pernah menonton Exhuma (2024), adegannya sangat mirip. Adegan yang muncul di sepertiga terakhir bagian film ini menambah variasi yang diperlukan untuk memperkaya story, dan menjadi fondasi menuju klimaks.
Alur yang dibangun rapi membuat penonton tidak terlalu sulit untuk menyelami ceritanya, kecuali mungkin untuk bagian akhir.
Film ini tidak memiliki formula flashback atau penjelasan masa lalu seperti yang biasa dilihat di film horor tanah air. Alurnya berjalan natural, karena motif dari antagonisnya juga sangat sederhana.
Walaupun endingnya berakhir tidak menyenangkan, sepertiga terakhir bagian dari film ini dianggap sebagai salah satu yang menyeramkan di jagat perfilman dunia. Penulis sangat merekomendasikan film ini kepada penggemar film horor.
Bagi penulis, The Wailing unggul dari segi penciptaan atmosfer negatif, yang memberikan kesan tidak nyaman bukan hanya bagi karakter dalam cerita, tapi juga penonton (kalapena).