Kalapena.id – The Divine Ponytail, begitu media memanggilnya. Seorang maestro sepakbola bernama Roberto Baggio, sang fantasista andalan. Pria Italia ini merupakan pemain terhebat sepanjang masa negeri spagetti.
Kisah Baggio yang paling melegenda adalah saat pemain penuh daya magis ini menjadi tulang punggung Italia menuju panggung final megah World Cup 1994 melawan Brazil di Stadion Rose Bowl, Pasadena, Amerika Serikat.
Saat itu Gli Azzuri tampil mengecewakan di babak grup dan hanya lolos sebagai peringkat tiga terbaik. Italia tampil buruk dan kalah 0-1 dari Irlandia, kemudian pada pertandingan kedua menang 1-0 atas Norwegia, dan seri 1-1 dengan Mexico di pertandingan pamungkas grup E.
Di fase grup terunik ini, dimana semua tim memiliki poin yang sama, Baggio masih belum menunjukkan tajinya. Permainan tim asuhan Arrigo Sacchi ini tidak meyakinkan, apalagi untuk melaju ke babak akhir World Cup 1994.
Baggio mulai menunjukkan kehebatannya saat babak knock out. Di babak 16 besar, dua golnya membawa Italia comeback dari ketertinggalan melawan Nigeria. Italia menang 2-1. Gol pertamanya di menit 88 menyelamatkan Gli Azzuri di waktu normal dari kekalahan. Gol keduanya terjadi pada menit 102 extra time, yang mengantarkan tim berkaus biru melaju ke babak selanjutnya.
Di babak perempat final, satu golnya di menit 88 menyudahi perlawanan Spanyol dengan skor 2-1. Gol pertama Italia dicetak oleh Dino Baggio di menit 25, yang kemudian disamakan oleh Caminero dari Spanyol di menit 58.
Di babak semifinal melawan Bulgaria, dua gol cantiknya di awal babak pertama menghempaskan mimpi tim dari Eropa Timur tersebut melaju ke babak final untuk pertama kalinya. Italia menang dengan skor identik 2-1.
Memasuki babak final, Italia bertemu Brazil yang diperkuat bintangnya Romario. Momen pertemuan dua raksasa sepakbola ini menjadi yang paling ditunggu-tunggu. Brazil saat itu sudah juara tiga kali, terakhir tahun 1970. Sedangkan Italia juga sama, terakhir juara tahun 1982.
Pertandingan penuh bintang ini pada awalnya diharapkan berjalan seru, tapi hingga babak extra time berakhir, skor masih 0-0. Sehingga terpaksa harus dilanjutkan dengan adu pinalti.
Sayangnya kegagalan Roberto Baggio dalam adu penalti sebagai penendang terakhir memberikan hasil pahit Gli Azzurri. Tendangannya melambung jauh di atas mistar gawang. Momen tersebut menjadi salah satu momen paling ikonik di World Cup. Kepahlawanan Baggio harus berakhir dengan kisah bad ending.
Setelah World Cup 1994, karirnya sempat meredup. Meskipun begitu, ia berhasil masuk timnas Italia yang akan berlaga di World Cup 1998 di Prancis. Saat mencetak gol pinalti penyeimbang kedudukan ketika melawan Chile, Baggio akhirnya merasakan bebas setelah beban kegagalan pinalti menghantuinya selama empat tahun terakhir. Sayangnya Italia gagal melaju jauh, setelah dikandaskan Prancis lewat adu pinalti 3-5 (waktu normal dan extra time 0-0).
Pemain berkuncir kuda ini sudah tampil sejak World Cup 1990 di Italia. Di turneman ini, salah satu gol solo run-nya saat melawan Cekoslovakia dinobatkan jadi gol terbaik ketuju sepanjang gelaran World Cup.
Berbicara mengenai skill individu, Baggio merupakan seorang seniman lapangan. Ia adalah seorang playmaker, yang dapat juga berperan sebagai false nine dan second striker. Kreativitas dan skill olah bolanya sangat mengagumkan. Ia sering mendikte tempo permainan tim, dan jika sedang buntu, Baggio sering menciptakan gol penentu di momen-momen penting.
Gaya mainnya elegan, dribbelnya mantap, dan yang paling membuat kiper lawan ketar-ketir, tendangan bebasnya memamtikan.
Profil Roberto Baggio
The Divine Ponytail lahir di Caldogno, Italia, 18 Februari 1967. Saat masih berumur 11 tahun, ia telah mencetak 45 gol dan 20 assists dalam 26 pertandingan.
Bakatnya tersebut tercium scout talent, yang kemudian membawanya ke Vicenza. Di klub berkaus merah putih ini, ia mulai berkembang secara signifikan.
Tim Serie A (liga utama Italia) saat itu, Fiorentina kemudian merekrutnya. Sayangnya beberapa hari sebelum bergabung, ia terkena cedera lutut, yang kelak akan menghantuinya sepanjang karir.
Meski dirugikan, tim berjulul La Viola tetap menaruh harapan di kaki Baggio. Mereka membiayai operasiya, dan masih harus menunggu selama dua musim sebelum akhirnya Baggio benar-benar merumput di Artemio Franchi.
Di musim ketiga, ia mulai mendapatkan tempat di hati para suporter lewat permainan indahnya. Selama lima musim merumput di Kota Firenze dari 1985-1990, ia tampil di 136 pertandingan dan mencetak 55 gol.
Meski belum berhasil memberikan gelar juara, Baggio sudah menjadi pahlawan di mata fans La Viola. Kepindahan mendadaknya pada pertengahan 1990 memantik kemarahan fans Fiorentina, yang menimbulkan kerusuhan di Firenze.
Baca juga :
- Nestapa The Red Devils, Berikut Lima Alasan MU Terpuruk Musim Ini
- Euro 2024 Jadi Panggung Emas Golden Boy Lamine Yamal
- El Clasico, Panggung Pembantaian Sang Juara oleh Anak-Anak La Masia
Saat berseragam putih hitam ala Juventus, Baggio pernah menolak mengambil pinalti saat melawan La Viola, dan mengungkapkan bahwa hatinya selalu ungu, yang berarti ungkapan cintanya kepada Fiorentina.
Hal tersebut membuat pendukung Juventus marah, namun tersebut tak berlangsung lama. Dengan raihan gol dan assists yang stabil tiap tahunnya, ia pada akhirnya dicintai Juventini.
Pada tahun 1995, kemunculan Alessandro Del Piero membuat Baggio disisihkan pelatih saat itu, Marcelo Lippi. Ia pun pindah ke AC Milan selama dua musim dari 1995 ke 1997.
Pasca kepindahannya ke Ill Diavolo Rossi, karir Baggio mulai menurun. Saat masa-masa terakhirnya di Milan, pelatih saat itu Fabio Cappelo tidak menganggapnya sebagai bagian masa depan AC Milan.
Ia kemudian pindah ke Bologna. Meski tengah dilanda periode yang kurang menyenangkan, ia tetap dibawa pelatih Italia, Cesare Maldini ke Prancis untuk mengikuti World Cup 1998. Sebabnya karena penampilan istimewa Baggio di klub berkostum biru merah tersebut. Tercatat ia menciptakan 22 gol di Serie A.
Semusim di Bologna, Baggio pindah ke Inter Milan. Di klub sekota AC Milan tersebut, ia sering mengalami cedera lutut kambuhan, sehingga hanya bertahan selama semusim.
Setelah itu, Baggio pindah ke Brescia dan bermain selama empat musim, sampai ia memutuskan untuk pensiun. Di klub berkostum biru ini, pria berkuncir kuda ini bermain apik.
Selama diperkuat Baggio, Brescia yang sering kewalahan menghindari degradasi, tetap stabil bertahan di panggung atas Serie A. Selama empat musim, ia tampil 101 kali dan mencetak 46 gol. Ia pun lagi-lagi menjadi legenda di klub semenjana tersebut.
Setelah pensiun, pria yang menganut agama Budha ini disibukkan ke kegiatan amal. Meski mengantongi lisensi kepelatihan UEFA Pro Coaching Category I, Baggio tidak melatih tim manapun sampai saat ini (kalapena).