Kalapena.id – Pengalaman lari dibayangi heart rate (detak jantung) tinggi, penulis alami saat mengikuti event lari Kavaya Run Batam 2025.
Mungkin ini pertama kalinya bagi penulis dapat peringatan ‘detak jantung tinggi’ saat beraktivitas lari dari smartwatch. Dan itu tidak hanya sekali. Sepertinya ada lebih dari 20 kali peringatan sepanjang waktu lari.
Sebenarnya dari literatur yang penulis baca, detak jantung meningkat saat berlari merupakan hal wajar.
Karena saat itu jantung memompa darah untuk mengalir ke otot-otot, sehingga mereka bisa mendapatkan oksigen dan nutrisi yang diperlukan dalam proses produksi energi.
Semakin keras dan cepat kita berlari, maka semakin tinggi denyut jantung yang kita alami.
Tapi yang penulis alami kemarin, mungkin karena ada faktor lain.

Disclaimer dulu, penulis bukanlah seorang pelari profesional, hanya pelari hore. Dalam artian, kapan ingin lari–di saat itulah lari. Dan tujuan ikut event lari bukan untuk mengejar juara (podium), tetapi untuk mencari kesenangan pribadi.
Meski pelari hore, penulis tetap melakukan persiapan untuk bisa ikut event Kavaya Run ini. Apalagi kategori yang diambil 10K. Kategori long run bagi penulis yang biasa lari 5K. Maka dari itu, wajib ada latihan lari. Ya, walaupun kenyataannya, banyak hari yang penulis lalui tanpa latihan lari (jangan diikuti). Hehehe.
Sebagai informasi, Kavaya Run digelar Minggu, 2 Februari 2025. Titik start dan finishnya di Dataran Engku Putri, Batam Center.
Event ini terbagi untuk kategori 5K dan 10K umum dan master. Nah, penulis ikut yang kategori 10K umum.
Baca juga :
- Kejuaraan Boli Voli Kembali Digelar di Batam, Catat Tanggal dan Lokasinya
- Inter Milan Tembus Final UCL 2025, Sebuah Antitesa dari Sepakbola Menyerang
- Event Lari Batam 2025
Penulis sudah mendaftarkan diri ikut event lari ini sejak November 2024 lalu. Berharap bisa mencapai catatan waktu finish lebih baik dari pengalaman 10K sebelumnya, penulis berlatih lari atau paling tidak jalan kaki, walaupun tidak rutin setiap hari atau setiap minggu.
Cuma memang sepanjang Januari 2025, tidak ada latihan lari. (Jangan diikuti ya).
Mendekati hari H, kondisi kesehatan penulis memang tidak sedang fit. Flu, batuk dan sempat demam. Namun kondisi demam ini tidak lama. Masalahnya ada di batuk.
Sempat minum obat yang dijual bebas di warung-warung, cuma tak membaik. Akhirnya berobat ke klinik di H-3 event lari. Kondisi batuk saat itu mulai membaik setelah minum obat dari resep dokter, walaupun batuk belum berhenti.
Mengira kondisi sudah baik-baik saja, penulis tetap lanjut dengan mengambil race pack collection di H-1, lanjut dengan tidur lebih cepat.
Hari H tiba. Pemanasan sudah penulis lakukan.
Event lari untuk 10K umum dan 10K master dilepas sekitar pukul 05.35 WIB menurut waktu smartwatch penulis. Pelepasan peserta ini terlambat 5 detik dari jadwal awal pukul 05.30 WIB.
Awal penulis lari, pace biasa saja. Tidak cepat, tidak juga terlalu lambat, tetapi diwarnai suara batuk dari penulis.
Dan, belum lagi mencapai jarak 1K, masih beberapa ratus meter dari garis start, peringatan ‘detak jantung tinggi’ itu muncul. Smartwatch bergetar dan menampilkan tulisan dengan warna merah di layar.
Penulis menekan tombol di smartwatch agar tampilan di layar berubah, dan catatan waktu lari berlanjut alias tak berhenti karena ada peringatan.
Tak disangka, tak lama peringatan pertama muncul, peringatan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya menyusul dan masih membayangi penulis selama ikut event ini. Beberapa kali pula penulis harus menekan tombol smartwatch agar catatan lari tetap jalan.
Hingga ada satu momen, penulis tidak sadar kalau catatan lari terhenti dengan sendirinya, dan menunggu perintah untuk ditekan “lanjut’. Ada sekian detik waktu dan nol koma sekian kilometer jarak lari yang tak terekam.
Sebenarnya, hal seperti ini cukup mengganggu bagi penulis. Karena peringatan heart rate terus muncul. Biasanya catatan HR penulis (36 tahun) di bawah 184 bpm. Namun di event lari kali ini di atas 184 bpm bahkan ada yang mencapai 190 bpm.
Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, akhirnya penulis berusaha berdamai dengan diri sendiri.
“Nggak apa-apa finish yang terakhir. Nggak apa-apa tak bisa capai waktu terbaik. Yang penting bisa finish dengan selamat, tak masuk mobil ambulans”.
Syukurnya, penulis bukan orang terakhir yang finish di event lari ini untuk kategori 10K.
Untuk menurunkan detak jantung tinggi itu, penulis melakukan variasi. Lari-jalan-lari. Penulis memilih jalan kaki dengan langkah panjang. Namun saat itu peringatan detak jantung tinggi masih muncul.
“Kenapa?” Penulis bertanya-tanya sendiri mengapa HR tetap tinggi, padahal dalam kondisi jalan kaki. Hingga pada kesimpulan, batuk yang menjadi pemicu HR penulis tinggi.
Perjuangan sampai ke garis finish itu tercapai dengan catatan waktu 1 jam 30 menit. Mungkin aslinya 1 jam 30an menit. Seperti yang sudah penulis tulis di atas, ada sekian detik waktu dan 0 koma sekian kilometer jarak lari yang tak terekam di smartwatch karena ter-pause sendiri dan tak disadari.
Ini juga mempengaruhi catatan lari penulis. Yang tercatat cuma 9.8K. Wah. Sementara pelari lain finish dengan jarak 10 koma sekian kilometer.
Usai event Kavaya Run, penulis pun mencari-cari informasi soal batuk, dan HR tinggi saat berlari. Apakah ada kaitannya?
Namun sebelum itu, penulis mau kasih tahu kondisi batuk penulis setelah ikut event lari sejauh 10K. Kabar buruknya, batuk penulis makin parah. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokan. Walaupun berkali-kali batuk, rasanya ada yang tidak sampai–plong.
Dan hal ini cukup mengganggu bagi penulis dalam bekerja. Teman-teman kantor mulai bertanya dan mengaitkannya, seolah-olah batuk ini akibat penulis ikut lari 10K.
Kembali penulis mengonsumsi obat batuk yang dijual di warung-warung untuk meredakan batuk yang mengganjal. Namun belum ada perubahan. Hingga akhirnya penulis datang lagi ke klinik, tempat berobat pertama.
Di situ pula penulis bertanya soal kaitan batuk, HR tinggi saat lari. Pada intinya, dokter mengatakan, saat kondisi batuk tidak direkomendasikan untuk lari, apalagi untuk jarak jauh.
“Nanti bisa semaput,” itu kata dokter yang masih penulis ingat.
Dilansir dari website resmi Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan jika HR terasa ‘meledak’ saat lari:
- Terlalu cepat di awal
Banyak pelari mulai terlalu cepat di awal tanpa pemanasan. Akibatnya jantung langsung bekerja keras dari awal
- Tidak mengenali zona Heart Rate
Setiap usia punya batas HR maksimal. Rumusnya 220-usia= HR maksimal
- Kurang istirahat dan recovery
Kurang tidur, stres atau belum pulih dari latihan sebelumnya juga bisa membuat HR bisa naik lebih cepat dari biasanya
- Gangguan kesehatan tersembunyi
HR yang tinggi terus menerus bisa mengindikasikan masalah seperti anemia, dehidrasi, gangguan jantung atau gangguan tiroid
Lalu, bagaimana menurunkan HR yang tinggi saat lari?
Dilansir dari runnerscase.com, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan HR secara cepat.
- Mengurangi kecepatan lari
Hal ini dapat mengurangi beban kerja pada jantung dan memberikan waktu bagi jantung untuk memompa darah dengan lebih efisien dan mengurangi denyut jantung
- Ambil napas yang dalam secara berulang sampai detak jantung menurun ke detak jantung normal
Hal ini dapat membantu memastikan pasokan oksigen yang cukup ke otot-otot tubuh.
Ok, mungkin ada faktor lain yang membuat HR penulis meledak saat lari kemarin. Namun apapun itu, semoga pengalaman penulis ini bisa menjadi pelajaran bagi yang lainnya agar menjaga kesehatan diri jelang race, dan lebih rutin latihan lari (pikarenji).