Kalapena.id – Kabar pemecatan Erik Ten Hag dari kursi pelatih Manchester United (MU) 28 Oktober 2024 kemarin bukanlah suatu yang mengejutkan. Isu tersebut sudah sejak lama santer terdengar kencang menyusul performa buruk yang ditunjukkan tim berjuluk Setan Merah tersebut musim ini.
Penulis bukanlah fans MU, tapi penistaan nama besar The Red Devils selama satu dekade ini cukup mencuri perhatian dan menumbuhkan simpati. Mungkin hanya Juventus yang mengalami nasib lebih buruk saat degradasi ke Serie C Liga Italia imbas dari Calciopoli.
Bayangkan tim berprestasi dan sebesar MU dengan basis fans terbesar di dunia harus terbenam di peringkat ke-14 klasemen pekan 9 Premier League 2024/2025. Mau ditaruh dimana muka tim yang paling banyak menjuarai Liga Inggris ini.
Sebenarnya MU mulai bermasalah saat kepemilikan sahamnya diambil oleh Keluarga Glazer pada 2005. Namun keutuhan tim tetap terjaga berkat tangan dingin Sir Alex Ferguson.
Sayangnya Fergie pensiun tahun 2013, dan sejak saat itu awan gelap seakan tak mau beranjak dari langit Old Trafford.
Penulis sejak dari akhir 1990-an sudah mengikuti sepak terjang berbagai klub elit di Benua Eropa termasuK MU. Kasus dari The Red Devils ini cukup menarik serta mengundang rasa iba untuk para pendukung setia klub yang identik dengan warna merah tersebut.
Berikut kesimpulan dari pengamatan penulis mengapa MU bisa sampai terpuruk :
- Keluarga Glazer
Tahun 2005, pemilik waralaba toko olahraga dari Amerika, Keluarga Glazer mengambil kepemilikan saham MU sebesar 98%. Dana yang digelontorkan cukup fantastis mencapai Rp 14 triliun.
Sayangnya dana itu hampir seluruhnya merupakan utang dan penerbitan obligasi yang jatuh tempo di 2017 lalu.
MU yang pada awalnya bebas utang, tentu ketiban sial. Dilansir dari The Independent, per Maret 2022, utang kotor MU berada di angka Rp 10 triliun, dengan bungan pertahun sebesar Rp 321 miliar.
Bukan hanya itu, selama dua dekade kepemilikan Gazer, MU hanya dijadikan mesin uang. Sudah bukan rahasia umum, kalau keuntungan MU diserahkan kepada enam anggota Keluarga Glazer yang duduk di jajaran petinggi.
Baca juga :
- El Clasico, Panggung Pembantaian Sang Juara oleh Anak-Anak La Masia
- Kisah Legenda Sepakbola Italia, Roberto Baggio The Divine Ponytail
- Bintang Dua Inter Milan, Scudetto Termanis Sepanjang Masa
Lebih sakitnya lagi, Glazers dikenal pelit. Bukan hanya dari rekrutan pemain, tapi juga untuk peningkatan infrastruktur Old Trafford. Kabarnya selama rentang waktu 2012-2021, Glazers hanya mengucurkan dana Rp 2,4 triliun untuk Theatre of Dreams.
Jangan coba membandingkannya dengan klub nihil gelar, seperti Tottenham Hotspur yang malah menggelontorkan dana Rp 25 triliun untuk membangun stadion baru mereka beberapa tahun lalu.
Dengan beban utang tersebut, maka Glazers membebankannya kepada tiket penonton. Hal ini yang membuat pebisnis dari Negeri Paman Sam tersebut menjadi public enemy bagi fans setia MU.
- Masih Terikat Legacy Ferguson
Melupakan mantan memang sulit, apalagi yang sudah puluhan tahun bersama. Berbagai kenangan manis dari Sir Alex Ferguson menghiasi memori para fans setia, mulai dari raihan 13 trofi Premier League, dua trofi Champions League, lima trofi FA Cup dan lainnya.
Saat memutuskan pensiun di 2013, fans MU pun patah hati. Ferguson malah merekomendasikan pelatih medioker David Moyes jadi penggantinya.
Mungkin pemain warisan dari Ferguson masih tersisa, tapi style kepelatihan, gaya main, kharisma dan kualitas berkelas yang ada pada dirinya tidak bisa ditemukan dari penggantinya hingga saat ini.
MU adalah Ferguson, begitu juga sebaliknya. MU seperti anak ayam kehilangan induk, sehingga sering tersesat. Sayangnya hingga detik ini, MU masih tersesat.
- Ekspektasi Tinggi Menghadirkan Tekanan Kuat
MU merupakan salah satu klub dengan basis fans terbesar di dunia. Dikutip dari Bola.com, The Red Devils memiliki lebih dari 350 juta penggemar di seluruh dunia.
Klub ini punya 200 organisasi suporter di 24 negara, dan 160 juta pengikut media sosial.
Pemain-pemain kelas dunia yang merumput di klub ini, seperti Wayne Rooney, Roy Keane, David Beckham, Ryan Gigs, Ruud van Nistelroy, Rio Ferdinand, Cristiano Ronaldo dan lainnya membuat klub ini sangat berprestasi, sehingga banyak disukai khalayak ramai.
Karena rutin berprestasi, tentu ketiadaan gelar selama semusim menjadi hal langka dan haram bagi tim ini. Tuntutan manajemen dan fans yang tinggi dan haus akan validasi memberikan tekanan yang kuat bagi para pelatih dan pemain.
Fans MU itu rata-rata dikenal agak sombong, karena mungkin tim kesayangannya sudah terbiasa menjadi juara, sehingga merasa lebih tinggi dari suporter tim pesaing. Mereka juga dikenal ganas di media sosial, bahkan tak ragu untuk mengkritik tim sendiri bila hasil pertandingan tidak memuaskan.
Karena tradisi dan tuntutan tinggi sering menimbulkan tekanan psikologis yang kuat bagi para pemain dan pelatih.
Sebenarnya sejak Fergie pergi, pelatih yang datang ke MU itu sebenarnya bagus-bagus. Mulai dari Louis Van Gaal, Jose Mourinho, Ralf Rangnick hingga Erik Ten Hag.
Sebenarnya ada dua lagi nama, David Moyes dan Ole Gunnar Solskjaer. Tapi kedua pelatih ini masih hitungan medioker.
Van Gaal merupakan pelatih yang sudah malang melintang di Eropa. Ia tercatat pernah menukangi Barcelona, Ajax, dan timnas Belanda. Pelatih bertangan keras ini mampu memberikan trofi FA Cup. Rasio kemenangannya juga tidak buruk-buruk amat, sebesar 51%.
Lalu ada The Special One Jose Mourinho. Meski tidak didukung penuh soal perekrutan pemain, Jose masih bisa membuat fans MU menangis bahagia, karena pernah juara Europa League 2017. Rasio kemenangannya juga tinggi mencapai 54%.
Sedangkan Rangnick juga pelatih hebat. Meski tidak setenar dua nama di atas, ia merupakan pelatih yang pertama kali memperkenalkan gaya bermain Gegenpressing. Gaya ini sering dipakai Juergen Klopp saat menukangi Liverpool.
Rangnick membuat timnya bermain dengan atraktif. Sekarang ia menjadi pelatih kepala timnas Austria. Permainan tim ini sangat menawan, dan sempat lolos hingga perempat final Euro 2024 lalu setelah mengangkangi Belanda dan Prancis di fase grup.
Sayangnya saat berada di MU, ia hanya pelatih interim, sehingga rasio kemenangannya pun buruk, hanya 42%.
Baca juga :
- Event Lari di Batam 2024
- Event Lari Barelang Marathon dan PIM City Run Batam 2024, Ini Persamaannya!
- Cerita Dunia Pelarian dari Seorang Newbie Part I, Awalnya Suka Karena …
Kemudian Erik Ten Hag. Ia pelatih Ajax sebelum di MU. Gelar juara Eredivisie berhasil dipersembahkannya. Saat pindah ke MU, ia malah bisa dikatakan sukses karena membawa tim ini duduk di peringkat ketiga Premier League 2022/2023, sehingga lolos Champion League.
Keenam pelatih yang sudah penulis sebutkan ini bernasib sama, yakni dipecat karena hasil buruk. Manajemen dan fans tidak bisa menerima hal tersebut, sehingga kisah selanjutnya sudah ditakdirkan akan kemana arahnya.
Penulis juga melihat ekspektasi tinggi berpengaruh pada mental pemain di lapangan. Banyak dari pemain MU yang di timnas atau di klub sebelumnya bermain apik, malah tampil biasa saja atau melempem setelah pindah ke Old Trafford.
Contohnya Onana, Casemiro, Lisandro Martinez, Harry Maguirre, Joshua Zirkjee dan lainnya. Nama terakhir ini merupakan bintang muda Belanda yang bermain sensasional di Serie A bersama Bologna.
Zirkjee merupakan tipe pemain yang pandai menahan bola, serta memiliki visi dan kecepatan yang bagus. Dengan 11 golnya di Serie A musim lalu mampu membawa Bologna lolos ke Champion League.
Sejatinya dengan kualitas pemain yang lebih bagus di MU, tentu Zirkjee bisa mencetak gol lebih banyak. Tapi entah mengapa, kesuksesannya di Serie A hilang tanpa bekas di MU.
Begitu juga Onana dan Maguire. Onana membawa Inter Milan ke final Champion League 2022/2023, sedangkan Maguire sempat mengangkat trofi Premier League 2015/2016 bersama Leicester City.
Semenjak bergabung ke MU, kedua pemain ini malah menjadi pelawak yang menghibur fans sepakbola di seluruh dunia.
Ini sebenarnya harus menjadi perhatian dari operator baru MU, INEOS. Entah karena tuntutan terlalu tinggi, atau pemain tidak kuat menahan beban psikologis sehingga pengaruh tersebut berdampak pada performanya di lapangan.
- Ten Hag, Diktator yang Minim Kreasi
Saat memegang tampuk jabatan pelatih kepala MU, banyak orang menaruh harapan padanya untuk mengembalikan Setan Merah ke habitat aslinya.
Pada awalnya berjalan manis, karena MU berhasil lolos Champion League di musim perdananya. Lalu setelah itu hingga pemecatannya, menjadi drama parodi yang menghibur tiap akhir pekan.
Ten Hag ini mencoba membuat MU menjadi Ajax cabang Inggris. Hal tersebut bisa dilihat dari rekrutannya yang merupakan mantan anak asuhnya dulu di Ajax, mulai dari Dony van den Bekk, Andre Onana, THE GOAT Antony, Lisandro Martinez hingga dua rekrutan teranyar tahun ini Matthijs de Ligt dan Noussair Mazraoui.
Antony bahkan dibeli dengan harga fantastis 95 juta Euro atau Rp 1,6 triliun. Harga yang fantastis dengan kontribusi hanya lima gol selama tiga musim untuk winger asal Brasil ini.
Dony sudah berkarir di Girona setelah rentetan kegagalan di Old Trafford. Onana tampil memukau dengan lawakannya. Martinez yang bermain lebih hebat di timnas Argentina, lalu De Ligt dan Mazraoui yang belum memberikan kontribusi positif di musim ini.
Penulis bisa katakan Proyek Ajaxnisasi Ten Hag di MU ini gagal total. Ia seperti kehabisan ide, karena rekrutannya selain mantan pemain Ajax banyak yang gagal, sehingga terpikir untuk menggunakan jasa mantan anak asuhnya, karena satu hal sudah ada chemistry tentunya. Mereka pasti sudah mengerti apa yang diinginkan Ten Hag.
Sayangnya Ten Hag lupa kalau Liga Belanda itu jauh levelnya dari Premier League. Tim sekelas PSV yang sering menang besar di Eredivisie malah jadi lumbung gol tim lawan di Champions League.
Bahkan sebenarnya dua rekrutan terakhir dari Bayern Munich, De Ligt dan Mazraoui bukanlah pilihan utama di klub asal Jerman tersebut.
Entah apa yang dipikirkan Ten Hag, sepertinya ia berjudi dengan uang ratusan miliar hanya untuk merekrut pelawak seperti El Gasing Antony.
Sembari dengan proyek Ajaxnisasi-nya di MU, ia malah membuang pemain potensial seperti Mason Greenwood, Jadon Sancho, David de Gea dan superstar Cristiano Ronaldo.
Greenwood saat ini bermain gemilang bersama tim Prancis, Marseille dan sudah mencetak lima gol. Sancho sukses membawa Dortmund ke final Champion League musim lalu, meski harus kalah dari Real Madrid.
David de Gea yang dicintai fans MU malah tampil cemerlang di Fiorentina setelah absen semusim. Saat bertanding dengan AC Milan baru-baru ini, ia mampu menghentikan dua tendangan pinalti tim lawan.
De Gea seakan kembali ke masa keemasannya lewat berbagai penyelamatan berkelas di depan gawang. Fiorentina pun aman menapaki empat besar di Serie A saat ini.
Sedangkan Cristiano terus mencetak gol bersama Al Nassr di Arab Saudi. Kasus pemain bintang ini sangat istimewa, karena perseteruannya dengan Ten Hag banyak menyita atensi media massa.
Ronaldo sebenarnya peduli kepada klub yang membesarkannya, karena ia melihat sama sekali tidak ada peningkatan dari sisi fasilitas latihan, pasca ia keluar dari MU satu dekade silam.
Namun kritikannya dianggap terlalu menyayat hati, sehingga kontraknya pun diputus. Sungguh perlakuan yang buruk dari tim kepada pemain legend-nya.
Ten Hag tampak tidak memiliki kharisma di ruang ganti. Ia lebih mirip diktator anti kritik, yang apapun omongannya harus dipatuhi tanpa terkecuali.
Dari segi taktik, fans MU mungkin lebih paham betapa pelatih plontos ini minim kreasi. MU mungkin menguasai bola lebih banyak, tapi sulit sekali mencetak gol.
Build-up dari bawah mungkin sudah bagus, tapi ketika sampai daerah lawan malah terlihat bingung. Ditambah lagi dengan kualitas finishing yang buruk dari para pemainnya. Ten Hag sama sekali tak punya jawaban untuk problem ini.
- Rekrutmen Pemain yang Buruk
Saat Jose Mourinho datang dan menangani MU, ia sulit sekali mendapatkan pemain yang diinginkannya di bursa transfer. Manajemen seakan tidak mendukungnya. Meski begitu, ia masih bisa menghadirkan sejumlah gelar prestisius bagi MU.
Nah di masa Ten Hag, apapun pemain yang ingin ia rekrut, semuanya dipenuhi oleh Keluarga Glazer. Tapi sayangnya pria botak ini kurang memiliki intuisi yang bagus untuk melihat bakat pemain.
Dari sekian banyak rekrutannya, bisa dikatakan hampir semuanya gagal bersinar. Rekrutan yang paling aneh menurut penulis yakni Mason Mount dari Chelsea.
Mount ini dikenal dari dulu sebagai pemain langganan BPJS Kesehatan, eh maaf langganan cedera. Entah bisikan apa yang bertiup ke telinga pelatih plontos ini untuk membelinya dengan harga yang cukup mahal.
Terbukti saat ini, Mount jadi pemain yang paling sering cedera di MU. Ia lebih akrab dengan meja operasi dibandingkan lapangan hijau.
Selain itu ada Rasmus Hojlund dari Atalanta. MU membayar terlalu mahal untuk pemain medioker ini. Di klub lamanya, target man satu ini hanya membukukan sembilan gol.
Jika dibandingkan Ademola Lookman atau striker utama Atalanta saat ini, Matteo Retegui, sudah jelas Hojlund masih berada dibawah level mereka berdua.
Ia mungkin memiliki fisik yang bagus, punya sedikit kecepatan, tapi sayangnya belum dibarengi dengan visi seorang striker. Hojlund selalu terlihat kesulitan mencari ruang tembak, ia juga sering dibekap cedera.
Lalu ada Casemiro. MU juga membayar terlalu mahal untuk bintang yang sudah mulai redup ini. Pemain Brazil ini penampilannya sering inkonsisten, dan malah sering buat blunder. Ini sangat disayangkan mengingat perannya yang penting sebagai jangkar tim Setan Merah.
Selain rekrutmen yang buruk, budi pekerti atau attitude juga sering jadi masalah. Contohnya Marcus Rashford. Biang kerok satu ini sering dikenal egois di lapangan, tapi sayang tidak dibarengi dengan finishing yang berkelas. Kalau Antony, tidak perlu ditanya lagi.
MU juga kesulitan karena sering dilanda badai cedera. Kemampuan finishing, terutama si Garnacho juga menjadi tantangan utama bagi pelatih baru Ruben Amorim untuk diperbaiki.
Kompetisi masih panjang, MU masih harus terus berbenah. Ambil contoh Chelsea yang dulunya rekan seperjuangan MU di dunia komedi, sekarang sudah mulai bangkit dengan kehadiran pelatih botak lainnya, Enzo Maresca.
Dalam tulisan ini, penulis bukan anti MU. Dan bukan pula bermaksud menyinggung perasaan fans yang sudah lelah terus menerus dibully selama ini. Tapi ini atas dasar simpati yang berbasis analisa di lapangan. Seyogyanya tim sebesar MU, bukan seperti sekarang ini kelasnya.
MU terkenal akan sifat pantang menyerahnya, dan pemain yang tak kenal kompromi. Gaya bermain khas MU yang agresif dan cepat, sering membuat lawan panik. Itulah seharusnya MU, bukan hanya jadi bayang-bayang Manchester City seperti sekarang ini
Kehadiran Ruben Amorim diharapkan jadi angin segar bagi The Red Devils, sehingga membuat fans MU yang mulai merendah bisa bebas kembali menyanyikan lagu kebanggaan Old Trafford, Glory Manchester United (kalapena).