Kalapena.id – Banyak penggemar novel karya bapak fantasi modern, J.R.R Tolkien yang memiliki harapan besar terhadap Serial The Rings of Power. Film serial ini merupakan prekuel dari trilogi masterpiece, The Lord of Rings yang melegenda di awal abad 21. Adapun latar waktu ceritanya adalah 2.000 tahun sebelum trilogi besutan sutradara Peter Jackson tersebut.
Premis yang ditawarkan sangat menggugah rasa penasaran para penggemar, yang ingin menggali lebih dalam lagi mengenai dunia fantasi middle earth yang fenomenal. Trailer dari serial yang mengudara dua tahun lalu tersebut juga menjanjikan.
The Rings of Power juga merupakan film serial dengan biaya produksi termahal sepanjang masa. Tiap episode berbiaya sebesar US$ 58 juta, atau sekitar Rp 880 miliar. Dengan biaya jumbo seperti itu, set sinematografi yang ditampilkan sangat megah. Dunia middle earth mampu digambarkan dengan sekeren itu, ditambah efek CGI yang mumpuni. Bagi yang menyukai film dengan visual yang memanjakan mata, maka serial ini merupakan pilihan tepat.
Film serial ini mengisahkan perjuangan Galadriel dalam menemukan musuhnya Dark Lord Sauron. Di film ini kita juga akan bertemu Elrond muda, lalu ada kisah mengenai Numenor dan juga kerajaan dwarf.
Lalu dengan semua keunggulan tersebut, bagaimana alur cerita film yang memiliki delapan episode ini. Sayang sekali, eksekusinya sangat mengecewakan. Film yang diproduksi Amazon Studios ini terlalu banyak memaksakan forced diversity di setiap episodenya. Ekspektasi yang dilebih-lebihkan harus down to earth, karena The Rings of Power banyak mengubah alur cerita, sehingga tidak sesuai lagi dengan naskah asli novel karya Tolkien.
Baca juga :
- Cerita ‘Ipar Adalah Maut’ Versi Instagram Elizasifaa (1)
- Mengapa Ceramah no Jutsu Sangat Overpower di Dunia Naruto?
- Cerita ‘Ipar Adalah Maut’ Versi Instagram Elizasifaa (2)
Contoh forced diversity yang penulis temukan yakni kehadiran black elf Arondir, yang tidak ada di dalam novel. Lalu ada juga istri dari Durin pangeran dwarf, yakni Queen Disa yang tidak berkumis, sehingga sesuai dengan penggambaran yang ada di dalam novel. Di novel, Tolkien menulis bahwa agak sulit membedakan dwarf lelaki dan wanita karena sama-sama brewokan.
Penggambaran tokoh utama, yakni elf Galadriel juga membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Pasalnya elf yang telah hidup sejak era pertama ini merupakan penyihir yang mampu menandingi Sauron di trilogi The Lord of The Rings. Namun di The Rings of Power, ia digambarkan sebagai prajurit wanita tangguh yang badass. Film belum sama sekali menggambarkan seperti apa character development Galadriel, dari seorang wanita gagah lalu menjadi penyihir yang ditakuti. Mungkin di season 2 yang kabarnya lagi produksi, kita akan menemukan jawabannya.
Selanjutnya ada juga penggambaran diri Sauron, yang dikhianati lalu kembali dengan wujud baru bernama Halbrand. Ini merupakan salah satu forced diversity yang dipaksakan atas nama improvisasi. Penulis akan lebih menghargai jika penggarap film serial ini membuat story sendiri, daripada memaksakan perubahan dari naskah novel yang sudah masuk dalam kategori cult ini.
Selain itu masih banyak lagi perubahan alur cerita yang penulis temukan. Memang saat ini forced diversity memang banyak dilakukan penulis naskah film, untuk lebih menambah daya tarik dengan sedikit improvisasi. Tapi yang dilakukan di dalam film ini, terasa sangat berlebihan.
Alur dari film serial ini pacenya juga lambat, sehingga di sejumlah episode terasa agak membosankan. Sisi positifnya adegan action dikoreografikan dengan baik. Lalu adegan improvisasi bagaimana terciptanya Mount Doom juga cukup menarik. Kisah awak terbentuknya gunung api yang jadi tujuan utama Frodo Baggins di trilogi The Lord of Rings ini juga tidak ada di novel, tapi cukup menambah khazanah wawasan baru mengenai mitologi middle earth (kalapena).