Kalapena.id – Kompetisi Uefa Champions League (UCL) edisi 2024/2025 menyajikan final yang menawan antara Inter Milan (Italia) dan Paris Saint Germain (PSG). Dua kutub sepakbola yang berseberangan saling beradu untuk memperebutkan gelar terkuat di Eropa.
Sebagai sebuah tim yang memiliki pertahanan terkuat di Eropa, Inter dikepung oleh tiga tim yang menganut mazhab menyerang frontal di semifinal UCL 2025, yakni Barcelona, Arsenal dan PSG. Inter menjadi antitesa dari ketiga tim ini, bahkan mungkin semacam obat penawar mujarab.
Secara pribadi, penulis merupakan penggemar Inter Milan sejak 1997 saat Ronaldo Brazil bermain untuk Ill Nerazzuri, ya bisa dikatakan sudah bapak-bapak sekarang. Inter pada era akhir 1990-an hingga 2010 merupakan tim yang sangat kuat.
Di era awal periode milenium ini, Inter mencapai zaman keemasannya saat dilatih Roberto Mancini dan penerusnya Jose Mourinho. Inter cukup boros di bursa transfer saat itu, tapi hasilnya terbayar lewat raihan trofi bergengsi.

Inter lima kali meraih gelar juara Serie A, Scudetto. Empat gelar Coppa Italia dan Supercopa, satu gelar Fifa Club World Cup, dan tentu saja gelar paling bergengsi UCL 2010.
Setelah itu, Inter memasuki era kegelapan dengan prestasi yang naik turun, pemain kelas medioker serta kesulitan finansial yang tak kunjung habis mendera klub yang berdiri pada 1908 ini.
La Beneamata mulai bangkit saat Luciano Spaletti mengambil tampuk kepelatihan pada tahun 2017. Prestasi dan peringkat Inter mulai membaik, dan mencapai puncaknya pada masa Antonio Conte (2019-2021) dengan raihan Scudetto 2021.
Sekarang Inter ditangani mantan pelatih Lazio, Simone Inzaghi yang sudah memberikan gelar Scudetto 2024, Coppa Italia 2023, serta tiga gelar Supercoppa berturut-turut dari 2021 hingga 2023.
Dan yang paling mengesankan, prestasi terbaik Inzaghi yakni mampu membawa Inter Milan menembus final UCL sebanyak dua kali pada tahun 2023 dan tahun ini.
Baca juga :
- Nestapa The Red Devils, Berikut Lima Alasan MU Terpuruk Musim Ini
- El Clasico, Panggung Pembantaian Sang Juara oleh Anak-Anak La Masia
- Berburu War Ticket Fun Run Adhyaksa Batam 2024 Hingga Larut Malam
Hal ini juga menjadi pembuktian bahwa Serie A atau Liga Italia yang selalu dianggap sebagai liga aki-aki masih belum kehilangan pesonanya.
Untuk skuad Inter Milan saat ini, tidak semewah saat menjuarai UCL 2010 dulu. Buntut dari krisis finansial yang mendera pemilik Inter sebelumnya, Suning Group membuat tim berkaos biru hitam ini memilih belanja hemat.
Syukurnya salah satu satu direktur sepakbola Italia terbaik, Giuseppe Maroota berlabuh di Inter Milan.
Berkat strategi transfernya yang efektif dan efisien, Inter selalu berhasil mendapatkan pemain-pemain bagus dengan harga yang murah atau malah berstatus Free Transfer.
Contoh yang mencuat yakni kiper Yan Sommer. Dia dibeli dari Bayern Munich seharga 5 juta euro, tapi kualitas yang ditampilkan saat laga semifinal UCL melawan Barcelona sangat luar biasa.

Belum lagi Marcus Thuram yang saat ini menjelma menjadi duet mematikan Lautaro Martinez sebagai ujung tombak Ill Biscione. Kalian tahu, Thuram itu gratis dari Eintrach Frankfurt dua tahun silam.
Kalau diceritakan lebih jauh, masih banyak kisah transfer Inter Milan yang pada awalnya diragukan namun berujung manis.
Inter juga tidak ragu menampung pemain-pemain yang dianggap sudah habis masa kejayaannya seperti pahlawan Inter Milan di semifinal UCL, Fransesco Acerbi. Lalu ada gelandang elegan Henrikh Mkhitaryan yang jadi kunci permainan Inter di lini tengah bersama Nicollo Barella dan Hakan Calhanoglu.
Di bawah asuhan Simone Inzaghi, pemain-pemain veteran ini masih bisa mengeluarkan kualitas terbaiknya visi, kemampuan membaca permainan serta passing yang sangat akurat, meskipun kebugaran tubuhnya tidak lagi seperti dulu.
Secara permainan, Inter zaman now lebih fleksibel dibanding Inter 2010 yang benar-benar mengedepankan taktik bertahan dan menyerang lewat counter attack.
Sebenarnya taktik yang sekarang juga hampir sama, tapi tidak rigid seperti dulu. Inter yang sekarang mengutamakan proses transisi cepat dari bertahan ke menyerang begitu juga sebaliknya.
Dengan formasi 3-5-2 khas Italia memungkinkan transisi tersebut terjadi secara cepat, dimana dua wingback Federico Di Marco dan Denzel Dumfries menjadi pilar utama penyerangan, yang kemudian saat bertahan mundur ke belakang secara cepat sehingga mengubah formasi menjadi 5-3-2.
Dalam pertandingan melawan Barcelona kemarin, saat Barcelona memegang bola, Inter bermain bertahan sambil melihat peluang counter attack memanfaatkan garis pertahanan Barca yang cukup tinggi.
Begitu mendapat kesempatan, bola pun langsung dimainkan dari belakang dengan cepat baik itu melalui longpass maupun shortpass, yang mengutamakan pergerakan pemain secara lugas ke ruang kosong pertahanan lawan.
Saat menyerang, sekitar 6-7 pemain Inter sudah langsung berada di kotak penalti. Dengan pola seperti ini, gol balasan pun bisa tercipta. Tapi kelemahan dari transisi cepat ini yakni sangat menguras stamina.
Inilah alasan utama Inzaghi menyukai pemain-pemain berstamina badak seperti Barella, Dumfries, Lautaro dan lainnya. Selain itu, hampir semua pemain Inter tidak banyak berubah dari final UCL 2023.
Rata-rata pemain Inter Milan sudah bermain bersama sekitar 4-5 tahun, sehingga chemistry yang terjalin sudah sangat kuat. Mereka mengerti pola pergerakan teman, umpan-umpan kesukaan striker, maupun cepat bergerak menutup ruang kosong yang ditinggalkan rekannya.
Dengan pola permainan taktikal seperti ini, Inter akan sangat menyulitkan lawan-lawan yang menganut sepakbola menyerang. Korbannya sudah banyak dan beberapa diantaranya tak mampu mencetak gol ke gawang Inter, mulai dari Manchester City, Arsenal, Bayern Munich hingga Barcelona.
Bagi penulis, dua pertandingan melawan Barcelona sendiri merupakan final, mengingat tim yang membesarkan Lionel Messi ini adalah tim terbaik sepanjang turnamen.

Hanya kekuatan mental yang mampu membawa Inter menyudahi perlawanan brutal anak-anak berbakat dari La Masia.
Mengenai PSG, tim ini juga menganut sepakbola menyerang yang sangat kuat. Tim ibukota ini memiliki pemain-pemain muda yang sangat cepat, seperti Kvicha Kvaratskhelia, Ousmane Dembele, Barcola, Achraf Hakimi dan lainnya.
Lini tengahnya juga bagus karena memiliki pengatur tempo serangan yang andal dalam diri Vitinha dan Fabian Ruiz. Sedangkan lini belakangnya cukup padu untuk meredam serangan balik lawan.
Dan yang paling penting, PSG memiliki kiper hebat Gianluigi Donnarumma. Mantan punggawa AC Milan ini menjadi momok utama Liverpool hingga Arsenal untuk menjebol gawang tim berkaos biru gelap ini.
PSG dengan kepelatihan Luis Enrique, pola permainannya mirip seperti Tiki-Taka Spanyol, yang mengandalkan umpan-umpan pendek dan kecepatan winger. Pola seperti ini sangat mematikan buat lawan yang berani memainkan high block.
Meskipun begitu, penulis menganggap daya eksplosif PSG masih satu tingkat di bawah Barcelona, yang memiliki serangan luar biasa mengerikan.
Keunggulan PSG dari Barcelona, yakni lini belakangnya lebih kuat, begitu juga di sektor penjaga gawang.
PSG sendiri tampaknya akan bermain habis-habisan mengingat mereka belum pernah meraih UCL, mereka ini Arsenal versi Prancis.
Inter pastinya akan menghadapi tekanan hebat saat partai final ini. Tapi sayangnya, Inter sendiri merupakan antitesa dari sepakbola menyerang. Tim ini menunggu lawan membuat kesalahan, dan menghukumnya dengan cepat.
Partai final ini pasti seru. Skuad murah meriah melawan skuad bertabur fulus Qatar. Jangan sampai lupa jadwalnya, dan penulis berharap pertandingan ini akan sama baiknya atau malah lebih gila lagi dari semifinal Inter versus Barca kemarin. Forza Inter Milan (kalapena).