Kalapena.id – Tersingkirnya Italia bukanlah sebuah kejutan dini di panggung Euro 2024. Menakar penampilan Gli Azzuri sepanjang kompetisi, tim ini memang tidak layak untuk memeprtahankan gelarnya yang diraih empat tahun sebelumnya. Italia sedang memasuki masa dark age.
Sempat menunjukkan harapan lewat kemenangan atas Albania 2-1 di leg pertama Grup B Euro 2024, Italia kemudian menunjukkan penampilan mengecewakan saat kalah dari Spanyol 0-1 dan imbang melawan Kroasia 1-1. Dalam pertandingan pamungkas kualifikasi grup, Italia boleh dikatakan beruntung karena bisa mencetak gol di menit-menit terakhir injury time.
Petaka terjadi saat mereka menghadapi Swiss di babak 16 besar, Italia sama sekali tidak memberikan perlawanan dan tumbang 0-2. Kekalahan ini menjadi momentum buruk yang membuat sang pelatih, Luciano Spaletti menjadi bulan-bulanan media massa negeri spagetti.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Italia tampil bobrok di kompetisi prestisius antar negara Eropa ini. Penulis akan coba membahasnya satu per satu.
Pertama, faktor pelatih. Luciano Spaletti sebenarnya pelatih yang brilian. Ia mampu membawa tim yang selama ini selalu menjadi underdog seperti Napoli meraih Scudetto di 2023 kemarin.
Namun untuk membawa keajaiban bagi timnas Italia, kadar magisnya belum cukup. Berdasarkan kutipan dari berbagai sumber, Spaletti dianggap terlalu gegabah dalam pemilihan pemain.
Banyak pemilihan pemain yang terasa terlalu terburu-buru, hanya sekadar untuk melengkapi, tanpa memperhatikan kebutuhan tim. Ia banyak meninggalkan pemain senior yang sebenarnya dibutuhkan untuk membimbing pemain-pemain muda.
Untuk lini belakang, sebenarnya sudah cukup oke, karena diisi oleh talenta-talenta muda yang bagus dalam bertahan, seperti Calafiori (Bologna), Di Marco (Inter), Bastoni (Inter) dan lain-lain.
Penampilan mereka cukup bagus, sisi lemah di lini belakang ini terdapat pada diri Di Lorenzo dari Napoli, yang sering menjadi awal mula titik penyerangan tim lawan.
Sementara di lini tengah, Spaletti malah tidak mengajak pemain yang bisa menjadi supplier bola yang bagus, seperti Locatelli dari Juventus dan Verrati (Al-Arabi) yang senioritasnya bisa digunakan untuk mendongkrak moral tim. Kedua pemain ini juga merupakan pilar Italia di bawah Roberto Mancini saat memenangi Euro 2020.
Ada lagi pemain bagus yang tidak dibawa seperti Orsolini dari Bologna, yang bermain cukup apik dan membawa Rossoblu lolos Uefa Champions League (UCL) 2024/2025.
Penulis agak heran dengan pemanggilan Jorginho yang lebih banyak menjadi cadangan di Arsenal. Mungkin dia bagian dari pemenang Euro 2020, tapi performance sudah sangat jauh menurun.
Di lini depan, pemain yang dipanggil sebenarnya punya potensi seperti Scamacca (Atalanta) Chiesa (Juventus) dan lainnya. Sayangnya figur senior yang masih cukup moncer, seperti Immobile (Lazio) tidak dibawa dalam Euro kali ini.
Spaletti memang banyak mengorbitkan pemain muda, tapi tim ini kekurangan seorang pemimpin dari kalangan pemain senior. Setelah Bonucci, Chiellini dan Buffon pensiun, tidak ada lagi kader pemimpin murni, yang mampu mengangkat moral tim.
Pemain Italia sekarang ini banyak diisi oleh talenta muda, yang kalau dipoles dengan tepat sebenarnya bisa menggendong Italia meraih posisi yang lebih baik lagi.
Bukan hanya strategi yang diperlukan, tapi juga leadership yang andal dibutuhkan untuk memimpin para youngster ini.
Selanjutnya, pola dan strategi dari pelatih berkepala plontos ini. Ia sangat minim berinovasi, dan sering larut dalam skema permainan lawan.
Di tengah tekanan dari pemain Swiss, Spaletti yang menyadari kekeliruannya saat fase grup mencoba pemain baru, dengan memasukkan Fagioli (Juventus) dan Cristante (Roma) untuk menemani Barella (Inter).
Dalam fase grup, ia sering mengandalkan Frattesi dan Jorginho yang hasilnya sudah kita ketahui. Tapi sayangnya duet Fagioli dan Cristante ini juga tak mampu membuat Italia mendominasi lini tengah. Xhaka dari Swiss mampu menari-nari dengan bebasnya mengatur ritme permainan, tanpa mendapat pressing yang ketat.
Seperti yang sudah dilihat, Italia bermain minim kreativitas. Tidak ada pola terukur yang bisa menjelaskan betapa kacaunya alur serangan mereka malam itu. Satu-satunya pemain yang tampil menawan hanya kiper Gianluigi Donnarumma (PSG). Aksinya banyak menyelematkan gawang Italia dari kebobolan lebih banyak.
Penulis melihat pemain bertahan seperti Bastoni atau Calafiori (absen saat lawan Swiss) malah lebih berinisiatif melakukan overlap, lalu memberi umpan-umpan matang, saking melempemnya lini tengah Gli Azzuri.
Baca juga :
- Euro Cup 2024, Panggung Pembuktian Die Mannschaft dan Gli Azzurri
- Pengalaman Berlari di Batam Polda Kepri Fun Run 7.8K, Berhasil ke Garis Finish?
- Mereka yang Menangis dan Tertawa di Penghujung Serie A Italia 2023/2024
Lini depan lebih mengerikan lagi. Tidak ada gol dari striker Italia selama pagelaran Euro kali ini. Kemenangan melawan Albania, golnya dicetak Bastoni dan Barella. Hasil seri lawan Kroasia diciptakan pemain pengganti, Zaccagni yang berposisi sebagai gelandang serang.
Meksipun begitu, kesalahan tidak serta merta dibebankan kepada juru gedor Gli Azzuri. Chemistry yang buruk dengan lini tengah justru menjadi aktor utama yang membuat lini depan mandul.
Disini peran Spaletti sebagai pelatih, ternyata tidak jeli dalam mengubah alur permainan dengan strategi yang tepat, plus dikombinasikan dengan pemilihan starting line-up yang buruk melengkapi derita Italia.
Menurut kabar yang beredar di media massa Italia, Spaletti juga memiliki hubungan yang kurang baik dengan pemain-pemainnya. Trust antara pelatih dan pemain yang tidak berjalan semestinya ini tentu saja mengikis pelan-pelan moral tim ketika bertanding.
Strategi 4-3-3 yang ofensif juga terlalu dipaksakan Spaletti, mengingat sebagian besar pemain Italia sudah akrab dengan pola 3-5-2, contohnya pemain-pemain Inter Milan dan Roma sangat sering bermain dengan pola tersebut.
Meski terkesan konservatif, pola 3-5-2 mampu membuat lini tengah lebih stabil, pertahanan lebih kuat, serta serangan balik cepat bisa dilakukan lebih leluasa dari tengah maupun melalui wingback di posisi sayang, yang bisa overlap hingga jantung pertahanan musuh.
Italia Krisis Pemain Berkualitas
Di luar dari kepemimpinan Spaletti, Italia saat ini memang tengah krisis pemain berkualitas.
Skuat yang sekarang jika dibandingkan dengan skuat 2006 yang menjuarai piala dunia, maka akan terasa seperti skuat C. Bahkan pemain pelapis saat 2006 lalu masih jauh lebih baik dari pada punggawa Italia saat ini.
Dua hal yang tidak dimiliki Italia saat ini yakni penyerang haus gol dan gelandang yang piawai mengatur ritme permainan.
Untuk lini belakang, meski belum sebagus Cannavaro cs, tapi punya peluang untuk berkembang lebih baik lagi.

Italia 2006 dan ke bawahnya memiliki penyerang-penyerang hebat yang ditakuti lawan, seperti Inzaghi, Del Piero, Toni, Vieri, Montella dan lain-lain.
Nama-nama mereka merupakan jaminan mutu untuk menggedor jala lawan. Beralih ke lini tengah, maka Italia memiliki maestro yang setara Zidane dalam diri Andrea Pirlo.
Ia mungkin bertubuh kurus dan tidak cepat, tapi ketenangan serta umpan-umpannya sangat mematikan. Sebagai trequartista atau deep lying playmaker, tempo permainan tim ada di tangannya.
Pirlo sangat pandai untuk mengetahui kapan waktu terbaik untuk menyerang maupun bertahan. Ia menjadi nyawa AC Milan dan Juventus, serta Italia selama bertahun-tahun.
Kehilangannya akibat pensiun belum bisa digantikan siapapun di timnas Italia saat ini. Ini masih Pirlo, belum lagi jika menyebut Totti, Camoranesi, Gattuso, Ambrosini dan lainnya.
Di lini belakang, Italia merupakan dewa dalam art of defending. Nama-nama legendaris seperti Maldini, Nesta, Cannavaro dan lainnya merupakan jaminan piala dunia di tangan.
Kisah epik tersebut seakan hilang tidak membekas, sebab Italia sudah gagal merumput di lapangan World Cup dua kali berturut-turut 2018 dan 2022.
Penulis melihat timnas Italia tengah memasuki masa dark age. Butuh komitmen yang kuat dari FIGC (PSSI Italia) untuk memperbaiki ini, dan kembali menjadikan Gli Azzuri skuat yang tangguh dan disegani dunia (kalapena).